Perilaku bullying telah menjadi suatu fenomena yang secara perlahan meresap ke dalam kehidupan sehari-hari kita. Kita sering kali tanpa menyadarinya, melihat atau bahkan terlibat dalam perilaku bullying. Keberadaan acara televisi yang banyak menampilkan bullying sebagai hiburan telah turut memperkuat persepsi bahwa perilaku tersebut adalah hal yang normal, mengundang tawa, dan menarik. Dalam beberapa kasus, bullying bahkan mungkin dianggap sebagai suatu tradisi di lingkungan sekolah yang dikemas dengan alasan seperti "aku juga mengalami hal yang sama ketika saya masih menjadi adik kelas". Fenomena ini menggambarkan betapa perilaku bullying telah terlanjur diterima dan dianggap sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya.
Data dari Programme for International Students Assessment (PISA) 2018 menunjukkan bahwa siswa yang pernah mengalami bullying di Indonesia yaitu sebanyak 41,1%. Angka korban bullying ini jauh di atas rata-rata dari negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang hanya sebesar 22,7%. Indonesia berada di posisi kelima tertinggi sebagai negara yang paling banyak mengalami bullying. Berdasarkan data KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) pada tahun 2022 ada 266 kasus kekerasan fisik dan juga psikis, termasuk bullying. Sementara data tahun 2019 ada 46 kasus kekerasan pada anak di sekolah (bullying) dan meningkat menjadi 76 kasus di tahun 2020. Bagi Kemensos angka ini sudah termasuk mengkhawatirkan dan tingkatannya cukup tinggi di Indonesia. Bullying telah dianggap sebagai bentuk awal pemicu kekerasan yang akan terjadi di masa perkembangan seseorang, dan hal ini dapat menyebabkan suatu bentuk gangguan perilaku yang serius seperti antisosial.
Sugden et al (2010) mendefinisikan “Bullying is the act of intentionally and repeatedly causing harm to someone who has difficulty defending him or herself”, yang berarti bullying merupakan tindakan yang dilakukan secara sengaja dan berulang-ulang yang menyebabkan luka pada seseorang sehingga orang tersebut sulit untuk membela dirinya sendiri. Bullying merupakan perilaku agresif yang melibatkan ketidak seimbangan kekuatan, perilaku diulang- ulang, dan memiliki potensi untuk diulang (Olweus, Limber & Breivik, 2019). Ketidakseimbangan ini berasal dari aspek fisik, kekurangan, popularitas, dan keinginan untuk menyakiti orang lain. Perilaku bullying ini cenderung bisa terjadi lebih dari sekali. Di Amerika Serikat, hampir seperempat siswa usia 12–18 tahun melaporkan telah di bully selama tahun sekolah dan 14% dari siswa kelas 3-12 dilaporkan menjadi korban bullying 2-3 kali per bulan atau lebih (Olweus, Limber & Breivik, 2019).
Bullying yang terjadi di lingkungan sekolah biasanya dilakukan oleh teman sebaya dan bahkan melibatkan kelompok siswa lain. Faktor pemicu terjadinya bullying antara lain adanya perbedaan ekonomi, sosial, pendapat, fisik, agama, budaya dan lain sebagainya. Perbedaan yang terjadi menjadikan individu merasa rendah diri sehingga tidak sedikit diantara mereka yang mengalami tindakan bullying verbal berupa hinaan (Kartika, Darmayanti, & Kurniawati, 2019). Hal ini menyebabkan orang yang menjadi rantai paling bawah dalam perilaku bullying tidak dapat melampiaskan rasa frustasinya kemana-mana, sehingga hal ini dapat melukai dirinya sendiri dan dapat berakibat jangka panjang.
Perilaku ini juga telah banyak dibahas dari berbagai sudut, terutama yang berkaitan dengan kesehatan sosial dan mental. Sementara, penulis esai ini akan memaparkan perilaku bullying secara komprehensif dari sudut pandang neuropsikologis. Dilihat dari perspektif ilmu neuropsikologis, ada beberapa area otak yang berkaitan dengan proses perilaku bullying. Menurut Sadock, Sadock & Kaplan (2009) ilmu kedokteran telah melakukan riset panjang terkait efek bullying terhadap kesehatan jiwa. Penelitian ini menjelaskan bahwa stres fisik dan psikologis dapat meningkatkan hormon stres yang bernama kortisol. Bagian otak yang terganggu akibat stres yang berkepanjangan adalah amigdala, hipokampus, dan korteks prefrontal yang berfungsi sebagai regulasi emosi dan memori serta proses sifat, pengambilan keputusan, dan integrasi stres. Hasil pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging) pada anak usia 10-12 tahun menunjukkan bahwa area otak yang telah disebutkan sebelumnya lebih aktif pada anak yang mengalami perilaku bullying.
Kortisol menjadi hormon yang menarik untuk diperhatikan dalam penelitian perilaku bullying karena beberapa alasan. Terdapat perbedaan signifikan dalam tingkat kortisol antara anak-anak yang mengalami bullying secara tidak sengaja dan mereka yang sering menjadi korban bullying. Penelitian menunjukkan bahwa bullying yang tidak disengaja dapat meningkatkan kortisol, sementara anak-anak yang sering menjadi korban bullying cenderung memiliki tingkat kortisol yang lebih rendah dibandingkan dengan teman-teman mereka yang tidak mengalami bullying (Booth, Granger & Shirtcliff, 2008).
Amigdala adalah area otak berikutnya yang berkaitan dengan proses perilaku bullying. Amigdala hadir pada individu yang sehat, mereka dianggap sebagai komponen sistem limbik otak, yang mengendalikan emosi, naluri untuk bertahan hidup, dan ingatan. Fungsi amigdala yaitu, bertindak sebagai garis pertahanan pertama melawan impuls sensorik yang berpotensi berbahaya. Elemen lingkungan sangat penting untuk mendukung perkembangan amigdala yang sehat termasuk penurunan aktivasi rangsangan sensorik yang tidak menyenangkan dan kontrol keamanan yang lebih besar. Ini menyiratkan bahwa amigdala akan memicu respons bertahan hidup dengan tepat tanpa bereaksi berlebihan. Perilaku bullying ini menginduksi tingkat aktivasi amigdala yang signifikan dan meningkatkan rasa takut (Viding, McCrory, Blakemore, & Frederickson, 2011).
Prefrontal Cortex adalah area otak yang juga berkaitan dengan perilaku bullying. Barnes & Pinel (2021) mengungkapkan bahwa area ini adalah bagian otak yang mengatur karakter seseorang terutama berhubungan dengan pertimbangan moral, pengambilan keputusan, pembuatan rencana dan perilaku sosial. Prefrontal cortex juga terlibat dalam kemampuan untuk memahami dan merasakan emosi orang lain, yang dikenal sebagai empati. Ketika prefrontal cortex tidak berfungsi dengan baik, individu tersebut mungkin memiliki kesulitan dalam memahami perspektif orang lain dan merasakan emosi mereka. Hal ini dapat menghambat kemampuan individu untuk memahami konsekuensi dari tindakan mereka terhadap orang lain, sehingga meningkatkan risiko perilaku bullying.
Beberapa penjelasan diatas juga berkaitan dengan penelitian sebelumnya oleh Espelage (2014), yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara perkelahian dan penyalahgunaan narkoba, terutama pada anak laki- laki, dengan bullying dan tawuran. Caspi et al (2002) juga menambahkan bahwa mereka yang mengalami bullying saat anak-anak tiga kali lebih mungkin akan mengalami depresi saat dewasa. Ini mungkin terjadi sebagai akibat dari kemampuan gen berlengan pendek dapat mempercepat pembelajaran rasa takut dan memperpanjang ingatannya di prefrontal cortex.
Beberapa perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu yang pernah dialaminya. Salah satu pengalaman masa lalu yang sering dikaitkan dengan pelaku bullying adalah pengalaman kekerasan, baik itu kekerasan fisik maupun verbal, seperti kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan antara teman-temannya di masa kecil. Pelaku bullying dapat dikatakan memiliki pola pikir yang berbeda dibandingkan dengan orang lain yang tumbuh dalam lingkungan yang aman tanpa kekerasan. Pengalaman kekerasan yang mereka simpan dalam ingatan mereka dan rasa takut yang mereka rasakan memengaruhi aktivitas di area otak seperti amygdala dan hippocampus, yang mengakibatkan penurunan stimulasi pada area prefrontal cortex mereka. Hal ini membuat mereka sulit dalam pengambilan keputusan yang logis, kesulitan membedakan antara yang benar dan yang salah, antara yang baik dan yang buruk. Sebagian dari mereka mungkin berpikir bahwa bullying adalah solusi yang tepat untuk mempertahankan status mereka.
Barnes, S., & Pinel, J. (2021). Biopsychology, EBook, Global Edition. Pearson Education, Limited.
Booth, A., Granger, D. A., & Shirtcliff, E. A. (2008). Gender-and age-related differences in the association between social relationship quality and trait levels of salivary cortisol. Journal of Research on Adolescence, 18(2), 239-260.
Caspi, A., McClay, J., Moffitt, T.E., Mill, J., Martin, J., Craig, I.W., Taylor, et al (2002). Role of Genotype in the Cycle of Violence in Maltreated Children. Science 297:851-854.
Espelage, D. L., Low, S., Rao, M. A., Hong, J. S., & Little, T. D. (2014). Family violence, bullying, fighting, and substance use among adolescents: A longitudinal mediational model. Journal of Research on Adolescence, 24(2), 337-349.
Kartika, K., Darmayanti, H., & Kurniawati, F. (2019). Fenomena Bullying di Sekolah: Apa dan Bagaimana?. Pedagogia Social, 17(1), 55-66.
Olweus, D., Limber, S. P., & Breivik, K. (2019). Addressing specific forms of bullying: A large-scale evaluation of the Olweus bullying prevention program. International Journal of Bullying Prevention, 1, 70-84.
Sadock, B. J., Sadock, V. A., & Kaplan, H. I. (2009). Kaplan and Sadock's concise textbook of child and adolescent psychiatry. Lippincott Williams & Wilkins.
Sugden, K., Arseneault, L., Harrington, H., Moffitt, T. E., Williams, B., & Caspi, A. (2010). Serotonin transporter gene moderates the development of emotional problems among children following bullying victimization. Journal of the American Academy of Child & Adolescent Psychiatry 49(8):830-840.
Kak Anissa
Saya adalah seorang mahasiswa master di Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Saat ini mejadi content writter di Hear for Humanity.
Kesehatan mental merupakan hal yang tak ternilai harganya dalam menjaga kualitas hidup kita. Sejalan dengan perhatian yang semakin meningkat terhadap kesehatan fisik, penting bagi kita juga untuk memberikan perhatian yang sama terhadap kesehatan mental kita. Kesehatan mental yang baik memainkan peran sentral dalam membentuk siapa kita sebagai individu, bagaimana kita berhubungan dengan orang lain, dan bagaimana kita merespons dan menghadapi tantangan dalam hidup.
Pertama-tama, kesehatan mental yang baik berdampak langsung pada kualitas hidup kita sehari-hari. Ketika kita memiliki kesehatan mental yang baik, kita cenderung memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi, memiliki perasaan positif yang lebih kuat, dan merasa lebih puas dengan hidup kita secara keseluruhan. Kita mampu menikmati momen-momen kecil dalam hidup, mengatasi stres dengan lebih efektif, dan memiliki energi yang cukup untuk mengejar tujuan dan impian kita.
Selain itu, kesehatan mental yang baik juga berdampak pada kesehatan fisik kita. Penelitian telah menunjukkan bahwa ada keterkaitan erat antara kesehatan mental dan kesehatan fisik. Gangguan mental yang tidak ditangani dapat meningkatkan risiko terjadinya berbagai penyakit fisik seperti penyakit jantung, diabetes, dan gangguan tidur. Sebaliknya, memiliki kesehatan mental yang baik dapat membantu menjaga keseimbangan fisik kita, meningkatkan daya tahan tubuh, dan memperpanjang umur.
Selanjutnya, kesehatan mental yang baik berdampak pada hubungan sosial kita. Ketika kita merasa baik secara mental, kita mampu membentuk hubungan yang sehat dan bermakna dengan orang-orang di sekitar kita. Kesehatan mental yang buruk dapat memengaruhi kemampuan kita untuk berinteraksi dengan orang lain, membangun dan memelihara hubungan yang positif, serta merespons emosi orang lain dengan empati dan pengertian. Dengan menjaga kesehatan mental yang baik, kita dapat memperkaya dan memperkuat jaringan sosial kita, menciptakan ikatan yang kuat, dan merasa didukung dalam setiap aspek kehidupan kita.
Tidak kalah pentingnya, kesehatan mental yang baik memainkan peran kunci dalam produktivitas dan kesuksesan kita dalam berbagai bidang kehidupan. Ketika pikiran kita sehat dan jernih, kita mampu berkonsentrasi dengan lebih baik, mengambil keputusan yang tepat, dan berkinerja optimal dalam pekerjaan, pendidikan, dan aktivitas sehari-hari lainnya. Kesehatan mental yang baik juga berhubungan dengan kreativitas, inovasi, dan kemampuan untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang efektif.
Namun, meskipun pentingnya kesehatan mental telah semakin diperhatikan, masih banyak stigma dan prasangka yang terkait dengan masalah kesehatan mental. Banyak orang yang enggan mencari bantuan atau berbagi pengalaman mereka karena takut dianggap lemah atau terisolasi. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran, pemahaman, dan penerimaan yang lebih luas tentang pentingnya kesehatan mental sebagai bagian integral dari kesejahteraan kita.
Dalam era yang semakin sibuk dan menuntut ini, menjaga kesehatan mental kita menjadi lebih penting daripada sebelumnya. Mengambil waktu untuk merawat diri sendiri, mencari dukungan dan bantuan ketika diperlukan, serta menjaga keseimbangan dalam hidup adalah langkah-langkah penting dalam memelihara kesehatan mental yang baik. Kita harus memprioritaskan kesehatan mental kita sejalan dengan perhatian yang kita berikan pada kesehatan fisik kita.
Dalam kesimpulannya, pentingnya kesehatan mental tidak dapat diabaikan. Kesehatan mental yang baik membawa dampak positif dalam setiap aspek kehidupan kita, mulai dari kualitas hidup yang lebih baik, hubungan sosial yang sehat, kesehatan fisik yang optimal, hingga produktivitas dan kesuksesan yang meningkat. Oleh karena itu, mari kita bersama-sama mengatasi stigma dan prasangka terkait dengan masalah kesehatan mental, serta mengambil langkah-langkah konkret untuk menjaga keseimbangan hidup kita dengan merawat kesehatan mental kita secara holistik.
Kak Deden
Saya adalah seorang mahasiswa master di University Sultan Zainal Abidin, Malaysia. Selain dikenal menyebalkan, saya juga menyenangkan dan baik hati. wkwkw.
Menjaga kesehatan mental adalah hal yang penting untuk kesejahteraan kita secara keseluruhan. Berikut adalah beberapa tips untuk menjaga kesehatan mental:
1. Kelola stres: Cari cara untuk mengelola stres dalam kehidupan sehari-hari, seperti olahraga, meditasi, atau kegiatan yang membantu Anda bersantai dan merasa tenang.
2. Jaga keseimbangan antara pekerjaan dan hidup pribadi: Tetapkan batas waktu yang jelas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi Anda. Berikan waktu untuk beristirahat, menjalani hobi, dan bersosialisasi dengan orang-orang yang Anda cintai.
3. Perhatikan pola tidur yang sehat: Usahakan untuk mendapatkan tidur yang cukup setiap malam. Tidur yang cukup membantu menjaga keseimbangan emosional dan kognitif.
4. Makan makanan sehat: Asupan makanan yang seimbang dan bergizi penting untuk kesehatan mental. Hindari makanan olahan yang tinggi gula dan lemak jenuh, dan pilih makanan yang kaya akan vitamin, mineral, dan serat.
5. Jaga kebugaran fisik: Olahraga secara teratur dapat membantu mengurangi stres, meningkatkan suasana hati, dan meningkatkan energi secara keseluruhan. Cari aktivitas fisik yang Anda nikmati, seperti berjalan, berlari, yoga, atau olahraga kelompok.
6. Terlibat dalam aktivitas yang Anda sukai: Temukan kegiatan atau hobi yang memberikan Anda kesenangan dan kepuasan. Melakukan hal-hal yang Anda sukai dapat membantu mengurangi stres dan meningkatkan suasana hati.
7. Tetap terhubung dengan orang lain: Jaga hubungan sosial yang positif dengan teman, keluarga, dan komunitas. Berbagi pengalaman, mengobrol, dan mendapatkan dukungan dari orang-orang yang Anda percayai dapat membantu menjaga kesehatan mental Anda.
8. Cari bantuan ketika diperlukan: Jangan ragu untuk mencari bantuan dari profesional jika Anda merasa perlu. Konselor atau psikolog dapat memberikan dukungan, pemahaman, dan strategi yang berguna untuk mengatasi masalah kesehatan mental.
9. Lakukan aktivitas yang memberikan makna: Temukan tujuan hidup yang memberikan makna bagi Anda. Menetapkan tujuan yang realistis dan menjalani kehidupan sesuai dengan nilai-nilai dan minat Anda dapat meningkatkan kesejahteraan mental.
10. Berikan diri Anda waktu sendiri: Sediakan waktu untuk merawat diri sendiri dan melakukan aktivitas yang meningkatkan kebahagiaan dan relaksasi. Ini bisa berupa membaca buku, menonton film, bermain musik, atau melakukan apa pun yang membuat Anda merasa bahagia dan terpenuhi.
Ingatlah bahwa setiap orang memiliki kebutuhan kesehatan mental yang berbeda. Penting untuk menemukan strategi dan rutinitas yang paling cocok untuk Anda secara pribadi. Jaga komitmen untuk merawat kesehatan mental Anda dan jangan ragu untuk mencari bantuan jika diperlukan.
Kak Habib
Seorang lelaki keren yang memiliki sejumlah kualitas yang menonjol dan membuatnya menarik.
Ciri-ciri mental yang sehat adalah sebagai berikut:
1. Ketahanan Emosional
Orang dengan kesehatan mental yang baik memiliki kemampuan untuk mengelola emosi mereka dengan baik. Mereka dapat mengenali dan mengungkapkan emosi secara sehat, serta mampu mengatasi stres dan tantangan dalam hidup tanpa terlalu terpengaruh secara negatif.
2. Keseimbangan
Individu yang memiliki kesehatan mental yang baik mampu menjaga keseimbangan antara berbagai aspek kehidupan, seperti pekerjaan, hubungan, rekreasi, dan kesehatan fisik. Mereka mengenali pentingnya mengalokasikan waktu dan energi dengan bijak untuk setiap aspek penting dalam hidup mereka.
3. Kemampuan Mengatasi Masalah
Orang dengan kesehatan mental yang baik memiliki kemampuan yang baik dalam mengatasi masalah. Mereka mampu memecahkan masalah secara efektif, mengambil keputusan yang tepat, dan melihat situasi dari berbagai perspektif. Mereka juga dapat menghadapi perubahan dan tantangan dengan fleksibilitas dan ketangguhan.
4. Kemampuan Menjalin Hubungan yang Sehat
Individu yang memiliki kesehatan mental yang baik mampu membangun dan menjaga hubungan sosial yang sehat. Mereka memiliki keterampilan komunikasi yang baik, mampu mendengarkan dengan empati, dan membangun koneksi yang positif dengan orang lain. Mereka juga mampu menetapkan batasan yang sehat dalam hubungan mereka.
5. Rasa Penerimaan Diri
Orang dengan kesehatan mental yang baik memiliki rasa penerimaan diri yang kuat. Mereka memiliki pemahaman yang sehat tentang kelebihan dan kelemahan mereka, menerima diri mereka apa adanya, dan memiliki rasa harga diri yang positif. Mereka tidak terlalu keras pada diri sendiri dan mampu menghargai diri mereka dengan cara yang sehat.
6. Kemampuan Menjaga Keseimbangan Emosi
Orang dengan kesehatan mental yang baik dapat mengelola emosi mereka dengan seimbang. Mereka tidak terjebak dalam ekstrem emosi yang berlebihan, tetapi mampu mengalami emosi secara sehat dan mengekspresikannya dengan tepat. Mereka memiliki kesadaran emosional yang baik dan mampu mengontrol reaksi emosional mereka.
7. Daya Tahan Mental
Individu yang memiliki kesehatan mental yang baik memiliki daya tahan mental yang kuat. Mereka mampu bangkit kembali setelah menghadapi kegagalan atau kesulitan, dan mampu belajar dan tumbuh dari pengalaman negatif. Mereka memiliki motivasi intrinsik yang tinggi dan tidak mudah menyerah dalam menghadapi rintangan.
Ciri-ciri ini adalah indikasi umum dari kesehatan mental yang baik. Namun, penting untuk diingat bahwa setiap individu adalah unik, dan kesehatan mental dapat bervariasi dari orang ke orang. Jika Anda memiliki kekhawatiran tentang kesehatan mental Anda, disarankan untuk mencari bantuan dari profesional kesehatan mental.
Kak Ainul
Halo saya Ainul Mardiah. Saya adalah bagian dari Hear for Humanity. Saat ini saya menjadi mahasiswa master di UIN Mataram.